BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Strategi
konseling yang dipilih oleh konselor untuk membantu memecahkan masalah konseli
merupakan komponen penting dalam proses konseling. Suatu strategi konseling
biasanya berkaitan dengan teori atau model konseling tertentu, masing-masing
teori atau model konseling memiliki seperangkat strategi konseling yang
terintegrasi kedalam keseluruhan proses konseling. Thompson (2003) menyatakan
bahwa saat ini telah ada lebih dari 300 strategi konseling dari berbagai
orientasi teoritik.
Bolbired
(1983) menyatakan, sangat sering terjadi aturan untuk memilih strategi tidak
mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Untuk membuat keputusan klinis yang
demikian sulit ini, tergantung pada kepekaan konselor untuk mengenali
kunci-kunci yang tersamar dalam interaksi klinis, memahami saling interaksi
antara bermacam-macam pola tingkah laku dan gaya hidup dan apresiasi yang tajam
tentang kekuatan-kekuatan lingkungan dan kemungkinan-kemungkinan yang lain yang
mengarahkan kehidupan konseli.
Pengetahuan
dan aturan-aturan tersebut tidak ditemukan dalam literatur, tetapi justru
datang dari pengalaman-pengalaman konselor sebelumnya dalam interaksi sosial,
pengalaman klinis yang aktual.
B. Rumusan masalah
Adapun
rumusan masalah yang ada pada permasalahan ini yaitu untuk mengetahui apa saja
analisis strategi konseling berwawasan budaya indonesia?
C. Tujuan
Tujuan yang ada
pada pembahasan kali ini yaitu mengetahui lebih jelas bagaimana analisis yang
ada pada strategi konseling berwawasan budaya indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Strategi Konseling
Suatu prosedur konseling akan
selalu digunakan bagi setiap konseli. Seorang konselor hendaknya selalu
berusaha mempunyai suatu rencana atau suatu rasional terhadap cara apa saja
yang dia tempuh. Tahap memilih suatu strategi konseling adalah sangat penting
dalam keseluruhan proses konseling. Eisenberg dan Delancy (1977) menyatakan
bahwa “timing” memilih suatu strategi sebelum waktunya dapat mempunyai pengaruh
yang sangat penting untuk keberhasilan penggunaan strategi. Penggunaan suatu
strategi sebelum waktunya dapat mempunyai pengaruh yang sangat jelek tehadap
keberhasilan proses konseling. Ada empat pedoman yang dapat digunakan untuk
mempertimbangkan “timing” (saat) yang tepat untuk memperkenalkan suatu strategi
yaitu:
1.
Kualitas hubungan, Hacney dan Cormier
(1979) okun (1982), menyatakan bahwa suatu strategi konseling mungkin tidak
efektif apabila hubungan konseling belum terjalin dengan baik. Hubungan konseling yang baik
dapat membantu konseli membuat transisi dari dukungan lingkungan ke dukungan
diri sendiri. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu hubungan telah cukup kuat
untuk memberikan dorongan yang dibutuhkan konseli? Sekali lagi, hal itu mungkin
berbeda-beda untuk masing-masing konseli, tetapi ada indikator dari
“kualitas”suatu hubungan sebaagai berikut :
a.
Konseli memberi balikan secara verbal
yang menunjukkan bahwa konselor mengerti perasaan atau permasalahan konseli
secara tepat.
b.
Konseli menunujukan kemauan untuk
melibatkan diri dalam konseling dengan jalan: datang tepat waktu, hadir dalam pertemuan-pertemuan,
menyeleseikan tugas-tugas rumah, mengungkapkan masalah pribadi, dan berbagi
perasaan kepada konselor.
c.
Konseli dan konselor membahas atau
mendiskusikan segala sesuatu yang memungkinkan terbukanya komunikasi
d.
Konselor merasa nyaman dalam
mengkonfrontir, mengungkapkan dan menggunakan respon-respon lain terhadap
konseli. Jika konselor telah mendapati kondisi-kondisi tersebut diatas saat
melakukan hubungan konseling, maka konselor cukup tepat waktunya untuk
memperkenalkan strategi konseling kepada konseli.
2.
Asesmen masalah, nampaknya tidak tepat
untuk menyarankan penggunaan suatu strategi apabila problem konseli belum
dianalisis secara memadai. Disebabkan masalah belum dianalisis secara memadai,
memungkinkan konselor memilih strategi yang tidak cocok atau tidak relevan.
Dalam beberapa hal, konseli hendaknya diberi kesempatan untuk merespon terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini agar dia berperan dalam menentukan waktu yang cocok
untuk menggunakan strategi.
3.
Tujuan konseling jika konselor memperkenalkan
suatu strategi sebelum tujuan konseling terbentuk, maka hal itu merupakan suatu
kesalahan. Karena suatu strategi merupakan cara untuk memperlancar tercapainya
suatu tujuan, tujuan yang operasional merupakan suatu syarat untuk pemilihan
suatu strategi. Jadi konselor dan konseli telah dapat mendeskripsikan tujuan
konseling yang di inginkan sebelum konselor menyarankan suatu cara untuk
mencaqpai tujuan tersebut.
4.
Kesiapan dan komitmen konseli untuk
bertindak merupakan pedoman ke empat yang dapat digunakan untuk
mempertimbangkan “timing”dari pemilihan strategi.
Pelaksanaan
suatu strategi akan tergantung pada kualitas hubungan, ketepatan penilaian atau
analisis masalah, terbentuknya hubungan konseling yang jelas, tingkah laku
konseli yang menunjukkan kesiapan untuk bertindak, dan pengumpulan data
pokok/dasar. Ada beberapa kriteria untuk memilih strategi. Beberapa ahli
seperti Gabriel (1977), Goldfried dan Davison (1976), Okun (1982), Shaffer
(1976), mengusulkan ada enam kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam memilih
strategi yaitu :
1.
Pilihan konselor
2.
Data dokumentasi
3.
Faktor-faktor lingkungan
4.
Sifat dari masalah konseli
5.
Tujuan yang diinginkan
6.
Pilihan konseli
Dalam
memilih strategi ke-enam ini hendaknya dipertimbangkan meskipun yang paling
penting adalah sifat masalah konseli dan petunjuk-petunjuk serta pola
diagnostik. Strategi konseling hendaknya dugunakan apabila merupakan peluang
tebaik untuk menolong konseli menyeleseikan problem secara efektif. Suatu
strategi konseling dikatakan efektif bila mempunyai 12 ciri, yaitu:
1.
Mudah dilaksanakan
2.
Sesuai dengan ciri-ciri dan kesengan
konseli
3.
Sesuai dengan problem dan faktor yang
bekaitan
4.
Bersifat positif dan tidak bersifat
menghukum
5.
Mendorong berkembangnya keterampilan
mengelola diri (self-management)
6.
Memperkuat kepercayaan konseli terhadap
kemampuan dirinya
7.
Didukung oleh literatur
8.
Dapat dikerjakan dan praktis
9.
Tidak menciptakan problem tambahan bagi
konseli atau bagi orang penting lainnya
10. Tidak
membebani konseli atau orang penting lainnya dengan melakukan banyak kegiatan
11. Tidak
melampaui apa yang dapat dipertangung jawabkan oleh konselor
12. Tidak
mengulangi atau bertumpu pada strategi yang tidak berhasil sebelumnya
B. Persepektif Stategi Pendidikan
Bewawasan Budaya Indonesia
Kondisi masa depan yang tergambar
dalam skenario yang mencakup kilasan karakteristik bagian luar (lingkungan
alam) dan karakteristik bagian dalam atau manusia sebagai subjek dan objek
orientasi dan intervensi pendidikan gambaran kedua aspek tersebut berimplikasi
bagi terciptanya strategi makro pendidikan yang berorientasi pengembangan
individu sebagai pribadi yang utuh atau manusia yang berkembang sumber dayanya
secara bermutu, sebagaimana yang dimaksudkan dalam tujuan pendidikan.
Apabila pendidikan dipandang
sebagai pranata vital dalam mengembangkan sumberdaya yang bermutu, maka
pemungsiannya tidak hanya diorientasikan kepada pemahaman wawasan kebangsaan,
melainkan harus melingkupi matra-matra yang lain secara terpadu, hingga
diperoleh keutuhan intenalisasi pada pribadi individu sebagai peserta didik.
Dalam masyarakat Indonesia yang berbineka sekurang-kurangnya perlu dikembangkan
tiga matra wawasan kebangsaan, yang meliputi matra paham kebangsaan, rasa
kebangsaan, dan semangat kebangsaan.
1.
Matra paham kebangsaan
Merupakan
refleksi dari kesadaran individu atau peserta didik akan kebinekaan Bhineka
Tunggal Ika masyarakat Indonesia. Refleksi kesadaan berikut dijadikan pedoman
berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang majemuk. Refleksi
kesadaran ini dilandasi oleh pemahaman yang dalam akan kondisi geografis, latar
belakang sejarah, pandangan hidup, kesenian dan bangsa indonesia. Keseluruhan
landasan tersebut hendaknya menjadi fasilitas bagi peserta didik dalam bergaul
atau berinteaksi dengan sesamanya.
2.
Matra rasa kebangsaan
Dimaksudkan
sebagai dimensi kesadaran yang bersifat apresiatif (menerima dan menghargai)
atas perbedaan-perbedaan keadaan diri, asal usul keturunan dan suku bangsa,
tetapi tetap mengeprsikan perasaan yang sama sebagai bangsa Indonesia.
3.
Matra Semangat Kebangsaan
Dimaksud
sebagai dinamika prilaku yang aktraktif yang diwujudkan dalam perbuatan senasib
sepenanggungan, toleransi, tenggang rasa, saling menghormati dan sanggup
berkompetensi secara sehat serta menunjukkan kebangsaan sebagai bangsa
Indonesia ditengah-tengah bangsa lain didunia ini.
Ketiga
matra tersebut hendaknya dijadikan objek orientasi pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada masa lalu dan masa kini, kehidupan itu sendiri mengarah pada
masa depan, bukan surut kebelakang waktu. Dengan kata lain, lembaga pendidikan
harus berupaya merebut dan menginternalkan masa depan kehidupan masyarakat yang
majemuk pada masa kni melalui strategi pendidikan yang tepat.
Hasil
studi tentang pelaksanaan program pembaruan dibidang pendidikan (1999-2000)
didelapan provinsi merekomendasikan perlunya pembinaan kesatuan bangsa melalui
bidang pendidikan. Implementasi pembinaan tersebut hendaknya diwujudkan dalam
bentuk penciptaan lembaga-lembaga pendidikan didaerah yang becorak budaya
binneka tunggal ika melalui strategi pendidikan yang menumbuh kembangkan
nilai-nilai religius, teoritik, ekonomi, humanistik, politik dan estetika
secara terpadu.
Dalam
rekomendasi studi dinyatakan, bahwa langkah-langkah operasional tentang
pembinaan, kesatuan bangsa yang dimaksud hendaknya sejalan dengan otonomi
daerah. Adapun yang menjadi dasar pertimbangannya yaitu:
1.
Setiap daerah berpotensi untuk
mengembangkan kebinnekaan yang unggul, sehingga apabila teraktualisasikan
melalui pendidikan, maka akan memperkuat keikatan bangsa indonesia.
2.
Strategi pendidikan yang memadukan
nilai-nilai termasuk meuupakan salah satu langkah kebijakan yang demokrasi
dalam rangka pembedayaan daerah melalui bidang pendidikan.
Selanjutnya,
dalam uji coba implementasi program pendidikan berwawasan kebangsaan
(2002-2003) pada sebelas provinsi dan melibatkan SLTP sampel diperoleh
gambaran, bahwa progam tersebut berdampak positif dan konstruktif terhadap
pembagunan bangsa yang bersemboyan Binneeka Tunggal Ika melalui pendidikan
dalam wujud aktifitas yang bersifat rekreatif, kreatif, dan inovatif serta
sesuai dengan karakteristik khas daerah masing-masing. Guna mengembangkan
manusia yang dapat hidup dan mampu mengahadapi masa depan yang dimaksud,
pendidikan seyogyanya diorientasikan pada kondisi masa depan dan karakteristik
manusia sebagai sumberdaya dan wahana belajar sepanjang hayat.
Petter
jarvis (1992), menggambarkan bahwa proses belajar manusia berlangsung dalam
kondisi paradoks, yakni suatu kondisi yang tumbuh dari kulminasi kontradiksi
kehidupan dalam masyarakat. Masalah-masalah yang muncul dalam paradoks tersebut
bukanlah semata-mata masalah ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan sosial,
melainkan masalah kemanusiaan. Hal ini mengisyaratkan, bahwa upaya yang
intervensi, sistematik, diperlukan untuk membawa umat manusia kearah yang lebih
cerah dan bermutu agar tidak tejerumus kejurang kenistaan.
Suatu
hal yang menguntungkan bagi manusia, karena Bronowski Sunaryo Kartadinata
(2000) manusia memiliki atau memiliki masa belajar yang panjang, fleksibilitas,
dan plastisitas berfikir, yang membuat dirinya mampu berimajinasi,
merekonstruksi, dan memaknai pengalaman masa lalu serta membentuk,
mengklarifikasi, dan mengantisipasi kepuasan-kepuasan yang dapat dicapainya
pada masa yanga akan datang.
Pendidikan
yang berorientasi pengembangan individu manusia sebagai pribadi yang bermutu
pada dasarnya adalah pendidikan yang berpangkal tolak pada pengembangan diri,
dan bertujuan kembali kepada persoalan pribadi yang mengintegrasikan relasi
atau nafsani dan jasmani dalam kesatuan wujudnya. Jadi, membina pribadi berarti
membanguin insan seutuhnya, yang berasaskan keseimbangan anatara pembangunan
fisik, materil dengan fisik religius. Dalam konsep islam, orientasi ini disebut
pembinaan nafsin (Kamarul hadi 1986). Dengan kata lain, melalui pendidikan
manusia dapat menjadi pribadi yang bermutu, apabila ia mau belajar ,mengetahui
apa yang dipelajari atau dikerjakan, untuk apa belajar, dan apa dasarnya ia
belajar. Strategi makro pendidikan uyang mengarah kepada belajar sepanjang
hayat dan diorientasikan untuk mengembangakan pribadi yang bermutu oleh para
ahli disebut inovatif learning atau belajar inovatif.
Balajar
inovatif merupakan strategi pendidikan yang diprediksi relevan denagn tuntutan
dan kebutuhan masayarakat modren dan global, yang bebeda dengan strategi maintenance
learning, yang cenderung berlaku pada masyarakat tradisional dan lokal. Dalam
strategi belajar memelihara atau maintenance learning, kegiatan belajar
dilakukan terutama untuk mempertahankan apa yang sudah ada dalam masyarakat dan
kebudayaan yang dimiliki sebagai warisan kultural. Strategi belajar ini terlalu
bersifat adaptif atau menyesuaikan diri secara pasif dengan apa yang sudah ada.
Sudah barang tentu, strategi belajar demikian akan terasa kurang memadai, bila
diperhadapkan dengan semakin derasnya arus informasi sekarang dan kedepan.
Hasil
hasil belajar memelihara tidak pernah berdaya ketika dihadapkan pada situasi
baru, situasi yang tidak terduga sebelumnya. Akhirnya akan terjadi suatu krisis
yang muncul dalam bentuk ketidakberdayaan atau shock. Kondisi semacam ini
selanjutnya memaksa manusia mencari suatu modus belajar yang baru, yang
benar-benar efektif untuk menghadapi keadaan yang baru tadi.
Kelambanan
gerak pada modus belajar tradisional (belajar memelihara) dibanyak negara
termasuk negara-negara maju, muncul dalam gejala learning lag (Mochtar Buchori,
1987) yang besarnya dapat mencapai 30 tahun atau lebih. Learning lag ialah
kesenjangan yang terdapat antara waktu ketika pertama kali timbul kesadaran
akan perlunya suatu perubahan dalam suatu program belajar dengan waktu ketika
perubahan tadi benar-benar dilaksanakan.
Perlunya
strategi belajar inovatif dikarenakan masalah-masalah yang dihadapi sekarang
dan dimasa depan bersifat saling berkaitan atau berbentuk jaringan-jaringan
yang kompleks. Selanjutnya, segenap persoalan atau pemasalahan dimasa depan
akan terselesaikan melalui tindakan bersama (cooperative action). Apabila
pendidikan terlalu mengandalkan strategi belajar memelihara, maka hasilnya
lebih mengutamakan adanya persaingan dari pada kebersamaan, lebih banyak
melahirkan kemampuan menyusun solusi alih-alih kemampuan melakukan aksi.
Sementara itu, dalam strategi belajar inovatif terdapat dua aspek kegiatan
belajar, yaitu antisipasi dan partisipasi. Perilaku yang inovatif hanya akan
timbul kalau terdapat kemampuan untuk berantisipasi, yakni kemampuan un tuk
memperkirakan secara sistematis dan realisitik apa yang mungkin akan terjadi.
Inovasi muncul sebagai hasil dari persiapan-persiapan untuk menyambut apa yang
diperhitungkan akan terjadi tadi.
Sebaliknya,
setiap pola prilaku baru hanya akan berdampak inovatif dalam masyarakat apabila
dilaksanakan oleh sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau apabila setiap
anggota masyarakat turut berpartisipasi dalam usaha menyesuaikan diri dengan
tuntutan zaman. Dengan pernyataan lain, antisipasi mendorong lahirnya
solidaritas dalam waktu, sedangkan partisipasi menciptakan solidaritas dalam
ruang. Delors (1996) memperluas makna strategi makro pendidikan yang dimaksud
ke dalam bentuk empat pilar pendidikan, yakni:
1.
Learning to know
Merupakan
pilar pertama yang akan menyangga individu untuk menguasai perangkat-perangkat
pemahaman. Tipe belajar ini pun dapat dihargai, baik sebagai suatu awal maupun
akhir didalam kehidupan. Sebagai suatu awal, melalui belajar ini setiap
individu dipersiapkan untuk memahami berbagai kesulitan tentang lingkungan
hidupnya, mengembangkan keterampilan-keterampilan kerja dan komunikasi. Sebagai
suatu akhir, learning to know merupakan dasar untuk menyenangi pemahaman, pengetahuan
dan penemuan.
2.
Learning to do
Sebagai
pilar ke dua tidak hanya bermakna belajar untuk melakukan tugas pekerjaan yang
perhatiannya diberi upah dengan segera. Secara umum, individu di upayakan untuk
menguasai berbagai kompetensi dan keterampilan dalam menghadapi dan menangani
situasi yang bervariasi, bekerja didalam suatu tim, dan kaya akan pengalaman
bekerja diberbagai konteks jaringan.
3.
Learning to live together
Merupakan
pilar pendidikan yang serupa dengan belajar untuk hidup bersama orang lain yang
beragam. Tipe belajar seperti ini merupakan isu umum dalam pendidikan dewasa
ini, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara
yang majemuk seperti indonesia. Melalui tipe belajar untuk hidup bersama,
individu seyogyanya dikembangkan pemahamannya tentang orang lain, sejarah,
kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai spiritual yang melandasi mereka dalam
menciptakan semangat baru dalam kehidupan yang saling bergantung, penuh resiko
dan tantangan masa depan. Sudah barang tentu, pembelajaran yang menggunakan
strategi dinamika kelompok sangat diapresiasi dalam hal ini.
Dalam
konteks pendidikan berwawasan kebangsaan, belajar hidup bersama bersama orang
lain yang berbeda disamping matra paham kebangsaan, terlingkup pula rasa
kebangsaan yang merupakan manifestasi dari nilai perdamaian serta semangat
kebangsaan atau nilai demokrasi (UNESCO-APNIEVE, 2000). Dengan kata lain,
pendidikan yang berwawasan kebangsaan sama pula dengan pendidikan nilai untuk
perdamaian, hak asasi manusia dan demokrasi.
4.
Learning to be atau belajar mandiri
Tipe
belajar ini diupayakan untuk mengembangkan kepribadian individu dan kemampuan
untuk bertindak lebih mandiri, mempertimbangkan serta tanggungjawab pribadi.
Dalam konteks pemikiran ini, learning to be dapat dikatakan sebagai pendidikan
akhlaqul karimah yang menjembatani silaturrahim antara manusia dengan alam,
sesamanya dan dengan Tuhannya.
C. Visualisasi Strategi Pendidikan dan
Bimbingan Bewawasan Budaya Indonesia
Pada prinsipnya pendidikan
pendidikan berwaawasan kebangsaan terintegrasi dalam praksis dan fungsi pranata
pendidikan yang mengembangkan sumber daya manusia yang bemutu. Artinya,
pendidikan yang berwawasan kebangsaan tidak terpisahkan atau merupakan bagian
integral dari pendidikan yang diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia
yang berbekal nilai-nilai kehidupan yang potensial, sehingga teraktualisasikan
melaui poses belajar menjadi, belaja hidup, belajar tahu dan belaja kerja serta
konsisten menginternalisasi nilai paham, rasa dan semangat kebangsaan
indonesia.
Individu yang beragam sebagai
masukan yang potensial, melalui praksis pendidikan diharapkan menjadi pribadi
yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, mandiri, berpartisipasi,
belajar efektif dan pribadi pekerja yang produktif. Setiap nilai kehidupan yang
potensial dalam diri individu merupakan kerangka acuan untuk bertindak dalam
meraih masa depan dengan berhasil, asalkan satu nilai tidak menguasai nilai
lainnya, dan gerakan nilai-nilai sepantasnya berlangsung secara seimbang,
sehingga nilai satu dapat mengendalikan nilai yang lainnya (Judistira K. Garna
& Ade Makmur K, 1999).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan yang berorientasi
pengembangan individu manusia sebagai pribadi yang bermutu pada dasarnya adalah
pendidikan yang berpangkal tolak pada pengembangan diri, dan bertujuan kembali
kepada persoalan pribadi yang mengintegrasikan relasi atau nafsani dan jasmani
dalam kesatuan wujudnya. Jadi, membina pribadi berarti membanguin insan
seutuhnya, yang berasaskan keseimbangan antara pembangunan fisik, materil
dengan fisik religius.
Dalam konsep islam, orientasi ini
disebut pembinaan nafsin (Kamarul hadi 1986). Dengan kata lain, melalui
pendidikan manusia daapt menjadi pribadi yang bermutu, apabila ia mau belajar
,mengetahui apa yang dipelajari atau dikerjakan, untuk apa belajar, dan apa
dasarnya ia belajar. Strategi makro pendidikan uyang mengarah kepada belajar
sepanjang hayat dan diorientasikan untuk mengembangkan pribadi yang bermutu
oleh para ahli disebut inovatif learning atau belajar inovatif.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini dimasa mendatang.
KEPUSTAKAAN
Prayitno.
1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud
http://konselortsaka I.blogspot.com/2012/11/strategi-konseling.html
http://karyaboy.blogspot.com/2008/02/konseling-lintas-budaya.html/07-09-2013
Facebook Comment
Blogger Comment