BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengantar Konseling Psikoanalisis Klasik
Secara etimologis Psikoanalisis dapat diartikan dengan analisa jiwa. Pendekatan teori psikonanalisis klasik tidak hanya meninjau tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, tetapi justru melihat dasar-dasar atau latar belakang dari munculnya tingkah laku tersebut, jadi dapat dikatakan bahwa psikoanalisis klasik meninjau secara mendalam pada psikis manusia, oleh karena itu Psikoanalisis klasik juga sering disebut dengan psikologi dalam/dept psychology (Taufik, 2009: 2)
Teori psikoanalisis klasik ditemukan oleh Sigmund Freud pada tahun 1986 dimana pada saat itu teori psikoanalisis merupakan tinjauan baru tentang manusia yang beranggapan bahwa ketidaksadaran memegang peranan penting dalam memahami kepribadian dan tingkah laku manusia. Freud membedakan arti psikoanalisis menjadi tiga, yaitu:
a. Psikoanalisis dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis seperti mimpi, yang sebelumnya tidak terjangkau ole penelitian ilmiah
b. Psikonalisis juga ditunjukkan suatu teknik untuk mengobati gangguan psikis yang dialami oleh klien-klien yang neorotis
c. Psikoanalisis untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode atau teknik
Model konseling psikoanalisis klasik memandang tingkah laku manusia didasarkan tiga asumsi dasar yang dapat mempengaruhi perkembangan pribadi manusia, (Hansen, 1977), yaitu:
a. Lima tahun pertama merupakan saat yang menentukan perkembangan manusia
Pengalaman yang dialami oleh anak pada masa umur di bawah lima tahun akan mempengaruhi perkembangan anak pada saat dewasa nantinya, apabila orang tua memberi pelayanan pada anak saat usia ini dengan baik dan semua kebutuhan anak terpenuhi terutama akan kasih sayang, cinta kasih maka anak akan tumbuh dengan baik dan menjadi manusia yang punya pribadi yang terintegrasi, tapi apabila orang tua menciptakan trauma pada masa ini maka anak akan tumbuh jadi anak yang punya kepribadian terganggu bahkan bisa neourotis.
b. Dorongan seksual merupakan kunci dalam menentukan tingkah laku individu
Menurut Freud bahwa setiap tingkah laku manusia didasari oleh dorongan seksual. Dorongan seksual disini bukan maksudnya khusus hubungan seks tapi dalam arti yang lebih luas, contohnya seseorang yang belajar di perguruan tinggi pada dasarnya untuk dapat membahagiakan anak dan istrinya di masa depan.
c. Tingkah laku individu banyak dikontrol oleh faktor ketidaksadaran
Tingkah laku yang seperti ini dapat dilihat saat apabila seseorang bermimpi berada di suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya atau belum tahu sama sekali, maka menurut analisis Freud hal tersebut sebagai tingkah laku yang tidak disadari
B. Pandangan Tentang Manusia
a) Pengalaman di masa balita penting dalam menentukan perkembangan masa dewasa
Jika pada masa balita anak memperoleh perlakuan yang tidak menyenangkan dari orangtuanya atau dari orang dewasa lainnya akan dapat menghambat perkembangan psikis dan fisiknya setelah mencapai dewasa. Pengalaman traumatis saat kecil menjadi bibit munculnya tingkah laku neurotis.
b) Dorongan seksual dipandang sebagai kunci dalam menentukan tingkah laku manusia
Freud Menyatakan bahwa tingkah laku manusia didasari oleh dorongan seksual (bukan dalam arti senggama). misalnya dalam hal ini seorang wanita yang memakai gaun, lipstick, dan lain-lain adalah karena dorongan untuk menampilkan kewanitaannya, begitupun dengan yang dilakukan oleh laki-laki.
c) Tingkah laku individu dikontrol oleh ketidaksadaran.
Tingkah laku individu banyak dipengaruhi oleh faktor ketidaksadaran, seperti cara berjalan, cara berbicara, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang diperoleh dari orangtuanya ataupun nenek moyangnya di masa lalu.
Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.
Ada beberapa asumsi dari teori psikoanalisis klasik mengenai hakikat manusia, diantaranya adalah (Prayitno, 1998: 41):
a. Manusia tidak memegang nasibnya sendiri, dan tingkah laku manusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan instink-instinknya
b. Tingkah laku manusia dikendalikan oleh pengalaman-pengalaman masa lampau
c. Tingkah laku individu ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis.
C. Struktur Kepribadian
Struktur kepribadian seseorang dirumuskan oleh Freud menjadi tiga unsur (Taufik, 2009: 7), diantaranya adalah:
a. Id
Id berisi kebutuhan-kebutuhan, keinginan dan kehendak yang merupakan lapisan dasar dari struktur kepribadian seseorang. Di dalam Id juga terdapat naluri-naluri dalam bentuk dorongan seksual, sifat agresif dan keinginan-keinginan yang direpresi.
Peran Id dalam hidup seseorang adalah sebagai penggerak dalam kehidupan seseorang, Id-lah yang memunculkan keinginan seseorang untuk makan dan memuaskan nafsu yang lainnya. Bagian yang termasuk ke dalam Id adalah instink, yang terpenting diantaranya adalah sex dan afresif, sebab dua unsur tersebut telah dimiliki oleh manusia semenjak lahir. Karena fungsi Id bertugas untuk memberikan kesenangan pada individu (Pleasure Principle) maka cara kerja Id sangat berkaitan dengan pengibdaran hal-hal yang tidak menyenangkan dan sebanyak mungkin dapat memperoleh kesenangan.
b. Ego
Ego dapat terbentuk dari adanya differensiasi Id karena adanya kontak dengan lingkungan. Kegiatan atau aktivitas Ego adalah mengarahkan Id untuk memperoleh sesuatu dalam pemenuhan kebutuhannya. Ego bertugas untuk menggerakkan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan secara nyata dan menjadi mediator antara Id dengan lingkungan. Ego lebih menekankan pada bagaimana sesuatu yang dibutuhkan dapat terpenuhi dalam dunia nyata (Prinsip Realitas).
c. Superego
Superego merupakan aspek sosiologis dan aspek moral dari kepribadian seseorang (Taufik, 2009: 9). Dapat digambarkan bahwa superego merupakan rambu-rambu atau penjaga yang menjadi petunjuk individu bertingkah laku dalam usahanya memenuhi kebutuhan Id. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi, artinya superego adalah wakil dari nilai-nilai tradisionil, serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anaknya, yang diisi oleh berbagai perintah-perintah dan larangan.
Menurut Sumadi Suryabrata (dalam Taufik, 2009: 9) bahwa superego bertugas sebagai penentu sesuatu merupakan perbuatan susila atau asusila, pantas atau tidak pantas, benar atau salah, dan dengan berpedoman kepada isi pribadi akan dapat bertingkah laku sesuai dengan moral-moral yang berlaku dimasyarakat. Hal tersebut dilakukan oleh superego dengan jalan menekan impuls-impuls yang bersifat immoral. Superego diinternalisasi dalam perkembangan anak sebagai respon terhadap hadiah dan hukuman yang diberikan oleh orang tua
Fungsi dari superego menurut Sumadi Suryabrata (1989: 194) yaitu melalui hubungan dengan ketiga unsur kepribadian yaitu dengan cara:
1) Merintangi impuls-impuls Id, terutama impuls seksual dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat.
2) Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang bersifat moralistis daripada realistis.
3) Mengejar kesempurnaan
D. Perkembangan kepribadian
Menurut teori psikoanalisis klasik, perkembangan kepribadian seseorang didasarkan pada tahun-tahun pertama kehidupannya, atau pada masa balita. Terjadinya berbagai penyimpangan kepribadian pada saat dewasa disebabkan oleh apabila individu mengalami berbagai kejadian traumatis, frustasi, konflik dan terancam.
Di antara tahap-tahap perkembangan kepribadian menurut teori psikoanalisis klasik dari Sigmund Freud diantaranya adalah:
a. Tahap Oral
Tahap oral berlangsung sekitar umur 0 sampai 1 tahun. Menurut Freud pada tahap ini kepuasan anak diperoleh anak melalui mulut. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan bayi sehari-hari yang cenderung memasukkan sesuatu yang didapatkannya kedalam mulut (Taufik, 2009: 14). Tidak terpuaskannya kebutuhan akan makan dan kasih sayang pada masa ini dapat menimbulkan sifat rakus dan serakah, selain itu juga mengakibatkan tumbuhnya sikap tidak percaya pada orang lain dan menganggap dunia ini amat kejam, selanjutnya menjadi takut untuk mencintai dan dicintai oleh orang lain, setelah mereka tumbuh dewasa akan mengalami kesulitan untuk membangun hubungan yang intim dengan orang, dan cenderung menolak kasih sayang.
b. Tahap Anal
Menurut Freud, tahap ini daerah erogen (kenikmatan) pada anak terletak di bagian anus. Kepuasan ini diperoleh anak melalui buang air besar. Buang air besar memberi keredaan pada anak dengan jalan menghilangkan sumber ketegangan (Calvin, dalam Taufik, 2009: 15). Orangtua yang amat keras dan menghukum anak pada masa ini akan dapat menimbulkan sikap ragu-ragu setelah mereka menjadi dewasa.
c. Tahap Phalic
Pada tahap phalic mulai terbentuk identitas kelamin, yang terlihat dengan anak laki-laki yang menyadari bahwa dirinya memiliki penis dan wanita tidak. Tahap ini berlangsung kira-kira saat anak berumur antara 3 sampai 5 atau 6 tahun. Pada tahap ini anak-anak menjadi ingin tahu tubuhnya karena merasakan kenikmatan akan ransangan pada alat kelaminnya. Tahap Phalic ini juga menimbulkan komplek oedipus dan komplek elektra, dimana anak laki-laki cenderung menyukai ibu yang berbeda jenis kelamin dengannya dan anak perempuan yang cenderung menyukai ayah yang juga berlainan jenis kelamin dengannya.
Apabila orangtua melakukan indoktrinasi standar-standar moral yang kaku dan tidak realistik dapat mengarah pada pengendalian superego yang berlebihan dimana setelah dewasa akan cenderung menghambat keintimannya dengan orang lain dan menerima atau mematuhi tatanan moral hanya karena takut.
d. Tahap laten
Pada tahap ini perkembangan seksual memang masih berjalan namun tidak begitu nampak. Tahap ini berlangsung pada umum sekitar 13 tahun. Pada tahap ini minat anak terhadap seksualitas tampak menurun dan mulai berganti pada minat terhadap hal-hal baru seperti pergaulan dengan teman sebaya, olagraga, sekolah dan teman-teman.
e. Tahap genital
Genital dapat diartikan sebagai organ kelaim, maksudnya disini adalah objek seksual anak kembali terarah pada organ kelamin. Pada tahap ini objek seksualnya tidak lagi tertuju pada diri sendiri tapi sudah tertuju pada orang lain diluar dirinya.
E. Perkembangan Kepribadian Salah Suai
Menurut Prayitno (1998: 43), tingkah laku salah suai disebabkan oleh kekacauan dalam berfungsinya individu:
a. Dinamika yang tidak efektif atau ketidaksesuaian kerja antara Id, Ego dan Superego.
Akibat tidak adanya dinamika yang efektif antara Id, Ego dan Superego ini akan menimbulkan kecemasan pada diri individu, hal ini karenakan ada yang direpresi, dan hal yang direpresi tersebut setiap kali ingin muncul ke dalam kesadaran (Taufik, 2009: 36)
b. Proses belajar yang tidak benar pada masa kanak-kanak
Seperti yang telah disinggung pada poin sebelumnya bahwa proses belajar pada masa kanak-kanak yang tidak sesuai atau tidak benar, misalnya anak yang terlalu banyak mendapat tekanan atau indoktrinasi dengan nilai-nilai yang amat kaku, dapat mempengaruhi perkembangan kepribadia, karena hal demikian menimbulkan konflik-konflik dalam diri.
c. Neurosis
Menurut Prayitno (1998: 44) bahwa keadaan neurosis dapat dikembalikan kepada proses perkembangan awal, yaitu bagaimana individu mengaktualisasikan mekanisme pertahanan diri untuk mengatasi ketegangan dirinya. Keadaan neurosis tersebut amat menguras energi sehingga individu tidak mampu lagi menghadapi kenyataan. Selanjutnya menurut Taufik (2009: 36) orang yang mengalami neurotik, makin lama dirinya akan semakin loyo dan lemas, karena pada dirinya energi banyak dipakai untuk mengatasi ketegangan dengan jalan mekanisme pertahanan diri. Orang yang terlalu banyak menggunakan mekanisme pertahanan diri dalam kehidupannya tergolong memiliki kepribadian abnormal (salah suai).
F. Tujuan Konseling dan Teknik Konseling
a. Tujuan konseling
Tujuan dari konseling psikoanalisis klasik adalah (Prayitno, 1998: 44):
1. Membawa klien kepada kesadaran dorongan-dorongan yang ditekan ketidaksadaran yang mengakibatkan kecemasan.
Menurut Rochman Natawidjaya (dalam Taufik, 2009: 36) menjelaskan bahwa tujuan dari konseling itu adalah usaha menata kembali struktur watak dan kepribadian klien. Dalam mencapai tujuan tersebut, jalan yang ditempuh adalah dengan cara membuat konflik-konflik yang tidak disadari menjadi disadari dan dengan menguji serta menjajaki materi yang bersifat intrapsikis
2. Memberikan kesempatan kepada klien menghadapi situasi yang selama ini ia gagal mengatasinya.
Dalam hal ini konselor membantu klien menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dini dengan menembus konflik-konflik yang direpresi (Taufik, 2009: 37). Setelah pengungkapan materi yang tidak disadari dan mengganggu itu, kemudian konselor berusaha merasionalkan kesan-kesan itu, sehingga klien menyadari bahwa kesan yang dibawanya tersebut tidaklah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Menurut Taufik (2009: 37) bahwa strategi pokok dari konseling psikoanalsis klasik adalah Katarsis, yaitu usaha melepaskan kesan-kesan yang selalu mendesak dari bawah sadar klien, yang selama initidak bisa dilepaskan atau selalu direpresi.
b. Teknik konseling
Menurut Prayitno (1998: 44) teknik konseling psikoanalisis klasik adalah:
1. Membangun suasana bebas tekanan. Dalam suasana bebas tekanan tersebut klien menelusuri apa yang tepat dan tidak tepat pada dirinya (tingkah lakunya) dan mengarahkan diri untuk membangun tingkah laku yang baru.
2. Teknik dasar konseling psikoanalisis klasik
a) Asosiasi bebas
Pada asosiasi bebas memberikan kesempatan seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya kepada klien untuk mengemukakan atau mengungkapkan apa yang terasa, terpikirkan, teringat, dan ada pada dirinya.
b) Transferensi
Merupakan proses mengarahkan perasaan-perasaannya (yang tertekan) kepada konselor dengan mengandaikan konselor adalah subjek yang menyebabkan perasaan tertekan itu
c) Interpretasi
Membawa klien memahami dan menghadapi dunia nyata, melalui pemikiran yang objektif.
G. Kekuatan dan kelemahan Konseling Psikoanalisis Klasik
Menurut Moh. Surya (2003: 38), beberapa kritik dan kontribusi yang diberikan oleh KOPSAK adalah:
a. Kontribusi yang diberikan oleh KOPSAK adalah
1) Adanya motivasi yang tidak selamanya disadari
2) Memberikan banyak kontribusi pada teori kepribadian dan teknik psikoterapi
3) Menjelaskan pentingnya masa kanak-kanak dalam perkembangan kepribadian
4) Kontribusi dalam model penggunaan wawancara sebagai alat terapi
5) Pentingnya sikap non-moral pada terapis
6) Adanya persesuaian antara teori dan teknik
b. Kritik terhadap psikoanalisis klasik adalah:
1) Pandangan yang terlalu deterministik dinilai terlalu merendahkan martabat manusia
2) Terlalu banyak menekankan kepada pengalaman masa kanak-kanak dan menganggap kehidupan seolah-olah sepenuhnya ditentukan masa lalu. Hal ini memberikan gambaran seolah-olah tanggung jawab individu berkurang
3) Terlalu meminimalkan rasionalitas
4) Bahwa perilaku ditentukan oleh energi psikis, adalah sesuatu yang meragukan
5) Penyembuhan dalam psikoanalisis terlalu bersifat rasional dalam
6) Data penelitian empiris kurang banyak mendukung sistem psikoanalisis
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori konseling psikoanalisis digolongkan ke dalam pendekatan psikodinamik, afektif, atau konstekstual. Asumsi penting dari teori ini adalah bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan atau instink-instink yang tidak disadari, dan bahwa gangguan perilaku yang dialami oleh manusia pada saat sekarang berkaitan dengan pengalaman kehidupannya di masa lampau, khususnya peristiwa-peristiwa traumatik yang dialami pada masa kanak-kanak serta kompleks terdesak. Kompleks terdesak adalah sekumpulan gerak hati dan dorongan-dorongan yang tidak diterima atau dipenuhi dan yang kemudian ditekan ke alam bawah sadar.
Proses konseling psikoanalisa diarahkan pada upaya mengungkap materi-materi kompleks terdesak dan kemudian membawanya ke alam bawah sadar untuk disadari oleh individu. Ini dilakukan dengan cara mengajak klien berbicara, mendorong transferen, menggunakan teknik kontraferensi, asosiasi bebas, serta analisis dan intrepetasi. Kita memiliki akses untuk memecahkan kesulitannya hanya jika ia mampu memperoleh insight tentang hubungan antara kesulitannya dengan materi-materi kompleks terdesak dan pengalaman masa kecilnya.
B. Saran
Mengingat pendekatan merupakan aspek penting dalam pelaksanaan proses konseling, oleh sebab itu bagi calon konselor, dosen, konsultan dan peneliti sangat disarankan untuk memahami secara baik mengenai pendekatan-pendekatan tersebut.
KEPUSTAKAAN
Mohammad Surya. 2003. Teori-teori Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita. Padang: BK FIP UNP
Eko Darminto. 2007. Teori-teori Konseling: Teori dan Praktik Konseling dari Berbagai Orientasi Teoritik dan Pendekatan. Surabaya: Unesa University Press.
Hansen, James C. 1977. Couseling Theory and Proses. (Second Edition) Atlantic Avenue; Boston
Kusmawati Hatta. 2010. Sekilas Tentang Teori Kepribadian Sigmund Freud dan Aplikasinya Dalam Proses Bimbingan. Jurnal Lipi, (Online),
(http://isjd.pdii.lipi.go.id/indeks.php/Search.html?act=tampil&id=443&idc=38, diakses 6 Februari 2013).
Facebook Comment
Blogger Comment